Undang-undang penerbangan pdf


















Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara perintis diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Perizinan Angkutan Udara Paragraf 1 Perizinan Angkutan Udara Niaga Pasal 1 Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat 1 huruf a dilakukan oleh badan usaha di bidang angkutan udara niaga nasional. Pasal 1 Untuk mendapatkan izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal , paling sedikit harus memenuhi persyaratan: a.

Pasal 1 Rencana bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 huruf g paling sedikit memuat: a. Pasal 1 Orang perseorangan dapat diangkat menjadi direksi badan usaha angkutan udara niaga, dengan memenuhi persyaratan: a. Pasal 1 Izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 berlaku selama pemegang izin masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan izin yang diberikan.

Pasal 1 Izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain sebelum melakukan kegiatan usaha angkutan udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan izin usaha yang diberikan. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin usaha angkutan udara niaga dan pengangkatan direksi perusahaan angkutan udara niaga diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2 Perizinan Angkutan Udara Bukan Niaga Pasal 1 Kegiatan angkutan udara bukan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat 1 huruf b dilakukan setelah memperoleh izin dari Menteri.

Pasal 1 Izin kegiatan angkutan udara bukan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal berlaku selama pemegang izin masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat udara.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin kegiatan angkutan udara bukan niaga diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 1 Pemegang izin usaha angkutan udara niaga dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang tidak melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara selama 12 dua belas bulan berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 huruf a, ayat 3 huruf a, dan ayat 4 huruf a, izin usaha angkutan udara niaga atau izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang diterbitkan tidak berlaku dengan sendirinya.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang izin angkutan udara, persyaratan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 1 Badan usaha angkutan udara niaga nasional dan perusahaan angkutan udara asing yang melakukan kegiatan angkutan udara ke dan dari wilayah Indonesia wajib menyerahkan data penumpang pra kedatangan atau keberangkatan pre-arrival or pre-departure passengers information.

Bagian Ketiga Jaringan dan Rute Penerbangan Pasal 1 Jaringan dan rute penerbangan dalam negeri untuk angkutan udara niaga berjadwal ditetapkan oleh Menteri. Pasal 1 Jaringan dan rute penerbangan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 ditetapkan dengan mempertimbangkan: a.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan serta pemanfaatan jaringan dan rute penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Tarif Pasal 1 Tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri terdiri atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan kargo.

Pasal 1 Hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 3 merupakan batas atas tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri. Pasal 1 Tarif penumpang pelayanan non-ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dan angkutan kargo berjadwal dalam negeri ditentukan berdasarkan mekanisme pasar.

Pasal Tarif penumpang angkutan udara niaga dan angkutan kargo berjadwal luar negeri ditetapkan dengan berpedoman pada hasil perjanjian angkutan udara bilateral atau multilateral.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Udara Pasal 1 Untuk menunjang kegiatan angkutan udara niaga, dapat dilaksanakan kegiatan usaha penunjang angkutan udara. Pasal Untuk mendapatkan izin usaha penunjang angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 2 wajib memenuhi persyaratan memiliki: a. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur pemberian izin kegiatan usaha penunjang angkutan udara diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketujuh Pengangkutan Barang Khusus dan Berbahaya Pasal 1 Pengangkutan barang khusus dan berbahaya wajib memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 5 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara prosedur pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 1 Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara. Pasal Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.

Pasal Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut. Pasal Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.

Pasal Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional. Pasal a 1 Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.

Pasal Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal sampai dengan Pasal tidak berlaku untuk: a. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan udara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal 1 Pengangkut wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif. Pasal 1 Pengangkut harus menyerahkan pas masuk pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf b kepada penumpang.

Pasal 1 Pengangkut wajib menyerahkan tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf c kepada penumpang. Pasal Tiket penumpang dan tanda pengenal bagasi dapat disatukan dalam satu dokumen angkutan udara. Pasal 1 Surat muatan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf d wajib dibuat oleh pengirim kargo.

Pasal 1 Surat muatan udara wajib dibuat sekurang-kurangnya rangkap 3 tiga , lembar asli diserahkan pada saat pengangkut menerima barang untuk diangkut. Pasal Pengangkut dan pengirim kargo dapat menyepakati syarat-syarat khusus untuk angkutan kargo: a.

Pasal 1 Pengirim bertanggung jawab atas kebenaran surat muatan udara. Pasal 1 Pengangkut wajib segera memberi tahu penerima kargo pada kesempatan pertama bahwa kargo telah tiba dan segera diambil. Pasal Dalam hal kargo belum diserahkan kepada penerima, pengirim dapat meminta kepada pengangkut untuk menyerahkan kargo tersebut kepada penerima lain atau mengirimkan kembali kepada pengirim, dan semuanya atas biaya dan tanggung jawab pengirim.

Pasal 1 Dalam hal penerima kargo, setelah diberitahu sesuai dengan waktu yang diperjanjikan tidak mengambil kargo, semua biaya yang ditimbulkannya menjadi tanggung jawab penerima kargo. Paragraf 4 Besaran Ganti Kerugian Pasal 1 Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap pada tubuh, luka-luka pada tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1. Pasal Jumlah ganti kerugian untuk bagasi kabin sebagaimana dimaksud dalam Pasal ditetapkan setinggi-tingginya sebesar kerugian nyata penumpang. Pasal 1 Jumlah ganti kerugian untuk setiap bagasi tercatat dan kargo sebagaimana dimaksud dalam Pasal dan Pasal ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal Jumlah ganti kerugian untuk setiap keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pasal Dalam hal orang yang dipekerjakan atau mitra usaha yang bertindak atas nama pengangkut digugat untuk membayar ganti kerugian untuk kerugian yang timbul karena tindakan yang dilakukan di luar batas kewenangannya, menjadi tanggung jawab yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 Besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal , Pasal , dan Pasal dievaluasi paling sedikit satu kali dalam satu tahun oleh Menteri.

Paragraf 5 Pihak yang Berhak Menerima Ganti Kerugian Pasal 1 Dalam hal seorang penumpang meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 , yang berhak menerima ganti kerugian adalah ahli waris penumpang tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 6 Jangka Waktu Pengajuan Klaim Pasal 1 Klaim atas kerusakan bagasi tercatat harus diajukan pada saat bagasi tercatat diambil oleh penumpang. Pasal 1 Klaim atas kerusakan kargo harus diajukan pada saat kargo diambil oleh penerima kargo.

Pasal Hak untuk menggugat kerugian yang diderita penumpang atau pengirim kepada pengangkut dinyatakan kedaluwarsa dalam jangka waktu 2 dua tahun terhitung mulai tanggal seharusnya kargo dan bagasi tersebut tiba di tempat tujuan. Paragraf 8 Pernyataan Kemungkinan Meninggal Dunia bagi Penumpang Pesawat Udara yang Hilang Pasal 1 Penumpang yang berada dalam pesawat udara yang hilang, dianggap telah meninggal dunia, apabila dalam jangka waktu 3 tiga bulan setelah tanggal pesawat udara seharusnya mendarat di tempat tujuan akhir tidak diperoleh kabar mengenai hal ihwal penumpang tersebut, tanpa diperlukan putusan pengadilan.

Paragraf 9 Wajib Asuransi Pasal Pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap penumpang dan kargo yang diangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal , Pasal , Pasal , Pasal , dan Pasal Pasal Besarnya pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal sekurang-kurangnya harus sama dengan jumlah ganti kerugian yang ditentukan dalam Pasal , Pasal , dan Pasal Paragraf 10 Tanggung Jawab pada Angkutan Udara oleh Beberapa Pengangkut Berturut — turut Pasal 1 Pengangkutan yang dilakukan berturut-turut oleh beberapa pengangkut dianggap sebagai satu pengangkutan, dalam hal diperjanjikan sebagai satu perjanjian angkutan udara oleh pihak—pihak yang bersangkutan dengan tanggung jawab sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Paragraf 11 Tanggung Jawab pada Angkutan Intermoda Pasal 1 Pengangkut hanya bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi dalam kegiatan angkutan udara dalam hal pengangkutan dilakukan melalui angkutan intermoda. Paragraf 12 Tanggung Jawab Pengangkut Lain Pasal Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal , Pasal , Pasal Pasal , dan Pasal berlaku juga bagi angkutan udara yang dilaksanakan oleh pihak pengangkut lain yang mengadakan perjanjian pengangkutan selain pengangkut.

Paragraf 13 Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Pihak Ketiga Pasal 1 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian pesawat udara, kecelakaan pesawat udara, atau jatuhnya benda-benda lain dari pesawat udara yang dioperasikan. Pasal Pengangkut dapat menuntut pihak ketiga yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap penumpang, pengirim, atau penerima kargo yang menjadi tanggung jawab pengangkut.

Paragraf 14 Persyaratan Khusus Pasal 1 Pengangkut dilarang membuat perjanjian atau persyaratan khusus yang meniadakan tanggung jawab pengangkut atau menentukan batas yang lebih rendah dari batas ganti kerugian yang diatur dalam undang-undang ini. Bagian Kesembilan Angkutan Multimoda Pasal 1 Angkutan udara dapat merupakan bagian angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan multimoda.

Pasal Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah mendapat izin untuk melakukan angkutan multimoda dari Menteri. Pasal 1 Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal bertanggung jawab liability terhadap barang kiriman sejak diterima sampai diserahkan kepada penerima barang. Pasal Badan usaha angkutan multimoda wajib mengasuransikan tanggung jawabnya. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Tatanan Kebandarudaraan Nasional Pasal 1 Tatanan kebandarudaraan nasional diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan bandar udara yang andal, terpadu, efisien, serta mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan nasional dan daerah yang ber-Wawasan Nusantara.

Pasal Bandar udara memiliki peran sebagai: a. Pasal Bandar udara berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan: a. Pasal Penggunaan bandar udara terdiri atas bandar udara internasional dan bandar udara domestik. Pasal 1 Hierarki bandar udara terdiri atas bandar udara pengumpul hub dan bandar udara pengumpan spoke.

Pasal Klasifikasi bandar udara terdiri atas beberapa kelas bandar udara yang ditetapkan berdasarkan kapasitas pelayanan dan kegiatan operasional bandar udara. Pasal 1 Rencana induk nasional bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 3 huruf b merupakan pedoman dalam penetapan lokasi, penyusunan rencana induk, pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan bandar udara. Pasal 1 Menteri menetapkan tatanan kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal untuk jangka waktu 20 dua puluh tahun.

Pasal Rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 2 huruf b paling sedikit memuat: a. Pasal 1 Daerah lingkungan kerja bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf f merupakan daerah yang dikuasai badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara, yang digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas bandar udara.

Pasal 1 Dalam pelayanan kegiatan angkutan udara dapat ditetapkan tempat pelaporan keberangkatan city check in counter di luar daerah lingkungan kerja bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 1 Daerah lingkungan kepentingan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf g merupakan daerah di luar lingkungan kerja bandar udara yang digunakan untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kelancaran aksesibilitas penumpang dan kargo. Pasal Kawasan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf h terdiri atas: a.

Pasal Batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf i merupakan kawasan tertentu di sekitar bandar udara yang terpengaruh gelombang suara mesin pesawat udara yang terdiri atas: a.

Pasal 1 Untuk mendirikan, mengubah, atau melestarikan bangunan, serta menanam atau memelihara pepohonan di dalam kawasan keselamatan operasi penerbangan tidak boleh melebihi batas ketinggian kawasan keselamatan operasi penerbangan.

Pasal Batas daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan, kawasan keselamatan operasi penerbangan, dan batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i ditetapkan dengan koordinat geografis.

Pasal 1 Untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan serta pengembangan bandar udara, pemerintah daerah wajib mengendalikan daerah lingkungan kepentingan bandar udara. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan lokasi bandar udara dan tempat pelayanan penunjang di luar daerah lingkungan kerja diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Pembangunan Bandar Udara Pasal Bandar udara sebagai bangunan gedung dengan fungsi khusus, pembangunannya wajib memperhatikan ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, mutu pelayanan jasa kebandarudaraan, kelestarian lingkungan, serta keterpaduan intermoda dan multimoda.

Pasal 1 Izin mendirikan bangunan bandar udara ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kelima Pengoperasian Bandar Udara Paragraf 1 Sertifikasi Operasi Bandar Udara Pasal 1 Setiap bandar udara yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta ketentuan pelayanan jasa bandar udara.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 2 Fasilitas Bandar Udara Pasal 1 Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib menyediakan fasilitas bandar udara yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta pelayanan jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Personel Bandar Udara Pasal 1 Setiap personel bandar udara wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi. Pasal 1 Personel bandar udara yang telah memiliki lisensi wajib: a.

Pasal Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri. Paragraf 2 Otoritas Bandar Udara Pasal 1 Otoritas bandar udara ditetapkan oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri. Pasal Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 mempunyai tugas dan tanggung jawab: a. Pasal Otoritas bandar udara sebagaimana dalam Pasal ayat 1 mempunyai wewenang: a. Pasal Aparat otoritas bandar udara merupakan pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi di bidang penerbangan sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai otoritas bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 1 Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dalam Pasal ayat 2 dapat diselenggarakan oleh: a. Pasal 1 Dalam melaksanakan pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 2 , badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara wajib: a.

Pasal Badan usaha bandar udara dapat menyelenggarakan 1 satu atau lebih bandar udara yang diusahakan secara komersial. Pasal 1 Pengusahaan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 yang dilakukan oleh badan usaha bandar udara, seluruh atau sebagian besar modalnya harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketujuh Pelayanan dan Fasilitas Khusus Pasal 1 Penyandang cacat, orang sakit, orang lanjut usia, dan anak-anak berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kesembilan Tarif Jasa Kebandarudaraan Pasal Setiap pelayanan jasa kebandarudaraan dan jasa terkait dengan bandar udara dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang disediakan. Pasal 1 Struktur dan golongan tarif jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ditetapkan oleh Menteri.

Peraturan Pemerintah untuk bandar udara yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara; atau b. Peraturan daerah untuk bandar udara yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara pemerintah daerah. Pasal Besaran tarif jasa terkait pada bandar udara ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan tarif jasa kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal Pengawasan dan pengendalian pengoperasian bandar udara khusus dilakukan oleh otoritas bandar udara terdekat yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal Bandar udara khusus dilarang digunakan untuk kepentingan umum kecuali dalam keadaan tertentu dengan izin Menteri, dan bersifat sementara. Pasal Bandar udara khusus dapat berubah status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum setelah memenuhi persyaratan ketentuan bandar udara. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus, serta perubahan status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 1 Setiap tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian izin pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 1 Dalam keadaan damai, pangkalan udara yang digunakan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 2 berlaku ketentuan penerbangan sipil.

Pasal Bandar udara dan pangkalan udara yang digunakan secara bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Bagian Keempat Belas Pelestarian Lingkungan Pasal 1 Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib menjaga ambang batas kebisingan dan pencemaran lingkungan di bandar udara dan sekitarnya sesuai dengan ambang batas dan baku mutu yang ditetapkan Pemerintah. Paragraf 1 Ruang Udara Yang Dilayani Pasal 1 Ruang udara yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 4 huruf a meliputi: a.

Pasal Pendelegasian pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 dilaksanakan dengan mempertimbangkan paling sedikit: a. Pasal 1 Kawasan udara berbahaya ditetapkan oleh penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan pada ruang udara yang dilayaninya. Paragraf 2 Klasifikasi Ruang Udara Pasal 1 Klasifikasi ruang udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 4 huruf b disusun dengan mempertimbangkan: a.

Paragraf 3 Jalur Penerbangan Pasal 1 Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 4 huruf c bertujuan untuk mengatur arus lalu lintas penerbangan.

Pasal 1 Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 4 huruf c meliputi: a. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan Tatanan Ruang Udara Nasional dan jalur penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal Jenis pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 4 huruf d meliputi: a. Paragraf 2 Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Pasal 1 Pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan terhadap pesawat udara yang beroperasi di ruang udara yang dilayani.

Pasal 1 Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 2 wajib memberikan pelayanan navigasi penerbangan pesawat udara. Pasal Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan harus mengalihkan jalur penerbangan suatu pesawat terbang, helikopter, atau pesawat udara sipil jenis tertentu, yang tidak memenuhi persyaratan navigasi penerbangan. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan jalur penerbangan oleh lembaga penyelenggara navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal diatur oleh Menteri.

Paragraf 3 Sertifikasi Pelayanan Navigasi Penerbangan Pasal 1 Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 2 wajib memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan yang ditetapkan oleh Menteri.

Paragraf 4 Biaya Pelayanan Jasa Navigasi Penerbangan Pasal 1 Pesawat udara yang terbang melalui ruang udara yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 4 huruf a dikenakan biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 5 Pelayanan Lalu Lintas Penerbangan Pasal Pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf a mempunyai tujuan: a.

Pasal 1 Pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal terdiri atas: a. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan lalu lintas penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 6 Pelayanan Telekomunikasi Penerbangan Pasal Pelayanan telekomunikasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf b bertujuan menyediakan informasi untuk menciptakan akurasi, keteraturan, dan efisiensi penerbangan. Pasal Pelayanan telekomunikasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal terdiri atas: a.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan telekomunikasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri Paragraf 7 Pelayanan Informasi Aeronautika Pasal Pelayanan informasi aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf c bertujuan tersedianya informasi yang cukup, akurat, terkini, dan tepat waktu yang diperlukan untuk keteraturan dan efisiensi penerbangan. Pasal 1 Pelayanan informasi aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal memuat informasi tentang fasilitas, prosedur, pelayanan di bandar udara dan ruang udara.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi aeronautika diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 8 Pelayanan Informasi Meteorologi Penerbangan Pasal Pelayanan informasi meteorologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf d bertujuan menyediakan informasi cuaca di bandar udara dan sepanjang jalur penerbangan yang cukup, akurat, terkini, dan tepat waktu untuk keselamatan, kelancaran, dan efisiensi penerbangan.

Pasal Pelayanan informasi meteorologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal diberikan oleh unit pelayanan informasi meteorologi kepada operator pesawat udara, personel pesawat udara, unit pelayanan navigasi penerbangan, unit pelayanan pencarian dan pertolongan, serta penyelenggara bandar udara. Pasal Pelayanan informasi meteorologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal dilaksanakan secara berkoordinasi antara unit pelayanan informasi meteorologi dan unit pelayanan navigasi penerbangan yang dilakukan melalui kesepakatan bersama.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi meteorologi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 9 Pelayanan Informasi Pencarian Dan Pertolongan Pasal 1 Pelayanan informasi pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf e bertujuan memberikan informasi yang cepat dan akurat untuk membantu usaha pencarian dan pertolongan kecelakaan pesawat udara. Bagian Ketiga Personel Navigasi Penerbangan Pasal 1 Setiap personel navigasi penerbangan wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi.

Pasal 1 Personel navigasi penerbangan yang telah memiliki lisensi wajib: a. Pasal Lisensi personel navigasi penerbangan yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri. Pasal Pemasangan fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 harus memperhatikan: a. Pasal 1 Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 wajib dipelihara oleh penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 1 Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 huruf a yang dioperasikan untuk pelayanan navigasi penerbangan wajib dikalibrasi secara berkala agar tetap laik operasi. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemasangan, pengoperasian, pemeliharaan, pelaksanaan kalibrasi, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima Frekuensi Radio Penerbangan Paragraf 1 Penggunaan Frekuensi Pasal 1 Menteri mengatur penggunaan frekuensi radio penerbangan yang telah dialokasikan oleh menteri yang membidangi urusan frekuensi. Pasal 1 Menteri memberikan rekomendasi penggunaan frekuensi radio untuk menunjang operasi penerbangan di luar frekuensi yang telah dialokasikan. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penggunaan frekuensi radio untuk kegiatan penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2 Biaya Pasal 1 Penggunaan frekuensi radio penerbangan untuk aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 2 tidak dikenakan biaya. Pasal Setiap orang dilarang: a. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penggunaan frekuensi radio diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 1 Program keselamatan penerbangan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 2 memuat: a. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai program keselamatan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Pengawasan Keselamatan Penerbangan Pasal 1 Menteri bertanggung jawab terhadap pengawasan keselamatan penerbangan nasional.

Bagian Ketiga Penegakan Hukum Keselamatan Penerbangan Pasal 1 Menteri berwenang menetapkan program penegakan hukum dan mengambil tindakan hukum di bidang keselamatan penerbangan. Bagian Keempat Sistem Manajemen Keselamatan Penyedia Jasa Penerbangan Pasal 1 Setiap penyedia jasa penerbangan wajib membuat, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakan secara berkelanjutan sistem manajemen keselamatan safety management system dengan berpedoman pada program keselamatan penerbangan nasional.

Pasal Sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 paling sedikit memuat: a. Pasal 1 Kebijakan dan sasaran keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf a paling sedikit memuat: a. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima Budaya Keselamatan Penerbangan Pasal Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya bertanggung jawab membangun dan mewujudkan budaya keselamatan penerbangan. Pasal Untuk membangun dan mewujudkan budaya keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal , Menteri menetapkan kebijakan dan program budaya tindakan keselamatan, keterbukaan, komunikasi, serta penilaian dan penghargaan terhadap tindakan keselamatan penerbangan.

Pasal Untuk membangun dan mewujudkan budaya keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal , penyedia jasa penerbangan menetapkan kebijakan dan program budaya keselamatan. Pasal 1 Personel penerbangan yang mengetahui terjadinya penyimpangan atau ketidaksesuaian prosedur penerbangan, atau tidak berfungsinya peralatan dan fasilitas penerbangan wajib melaporkan kepada Menteri.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai budaya keselamatan penerbangan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi adminisratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 3 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal Komite nasional keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 2 huruf a bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan program keamanan penerbangan nasional.

Pasal Program keamanan penerbangan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 2 huruf b paling sedikit memuat: a. Pasal 1 Dalam melaksanakan program keamanan penerbangan nasional, Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan negara lain.

Pasal 1 Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib membuat, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengembangkan program keamanan bandar udara di setiap bandar udara dengan berpedoman pada program keamanan penerbangan nasional. Pasal 1 Setiap otoritas bandar udara bertanggung jawab terhadap pengawasan dan pengendalian program keamanan bandar udara.

Pasal 1 Setiap badan usaha angkutan udara wajib membuat, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengembangkan program keamanan angkutan udara dengan berpedoman pada program keamanan penerbangan nasional. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembuatan atau pelaksanaan program keamanan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua Pengawasan Keamanan Penerbangan Pasal 1 Menteri bertanggung jawab terhadap pengawasan keamanan penerbangan nasional. Pasal Otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara, dan badan usaha angkutan udara wajib melaksanakan pengawasan internal dan melaporkan hasilnya kepada Menteri. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan keamanan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga Keamanan Bandar Udara Pasal 1 Orang perseorangan, kendaraan, kargo, dan pos yang akan memasuki daerah keamanan terbatas wajib memiliki izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat udara bagi penumpang pesawat udara, dan dilakukan pemeriksaan keamanan. Pasal 1 Terhadap penumpang, personel pesawat udara, bagasi, kargo, dan pos yang akan diangkut harus dilakukan pemeriksaan dan memenuhi persyaratan keamanan penerbangan. Pasal Kantong diplomatik tidak boleh diperiksa, kecuali atas permintaan dari instansi yang berwenang di bidang hubungan luar negeri dan pertahanan negara.

Pasal 1 Penumpang pesawat udara yang membawa senjata wajib melaporkan dan menyerahkannya kepada badan usaha angkutan udara yang akan mengangkut penumpang tersebut.

Pasal Badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara wajib menyediakan atau menunjuk bagian dari wilayah bandar udara sebagai tempat terisolasi isolated parking area untuk penempatan pesawat udara yang mengalami gangguan atau ancaman keamanan. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur keamanan pengoperasian bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat Keamanan Pengoperasian Pesawat Udara Pasal 1 Badan usaha angkutan udara bertanggung jawab terhadap keamanan pengoperasian pesawat udara di bandar udara dan selama terbang. Pasal Penempatan petugas keamanan dalam penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia hanya dapat dilaksanakan berdasarkan perjanjian bilateral.

Pasal Setiap badan usaha angkutan udara yang mengoperasikan pesawat udara kategori transpor wajib memenuhi persyaratan keamanan penerbangan.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelaksanaan keamanan pengoperasian pesawat udara diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima Penanggulangan Tindakan Melawan Hukum Pasal Setiap orang dilarang melakukan tindakan melawan hukum acts of unlawful interference yang membahayakan keselamatan penerbangan dan angkutan udara berupa: a.

Pasal Dalam hal terjadi tindakan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf a dan huruf b, Menteri berkoordinasi serta menyerahkan tugas dan komando penanggulangannya kepada institusi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang keamanan.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penanggulangan tindakan melawan hukum serta penyerahan tugas dan komando penanggulangan diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Keenam Fasilitas Keamanan Penerbangan Pasal Menteri menetapkan fasilitas keamanan penerbangan yang digunakan dalam mewujudkan keamanan penerbangan.

Pasal Penyediaan fasilitas keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dengan mempertimbangkan: a. Pasal 1 Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, dan badan usaha angkutan udara yang menggunakan fasilitas keamanan penerbangan wajib: a.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas keamanan penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal Tanggung jawab pelaksanaan pencarian dan pertolongan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 dikoordinasikan dan dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pencarian dan pertolongan.

Pasal Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain yang diindikasikan sedang menghadapi bahaya dalam penerbangan wajib segera memberitahukan kepada unit pelayanan lalu lintas penerbangan.

Pasal Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang bertugas wajib segera memberitahukan kepada instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan setelah menerima pemberitahuan atau mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan.

Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan pesawat udara diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara Pasal 1 Komite nasional wajib melaporkan segala perkembangan dan hasil investigasinya kepada Menteri. Pasal 1 Hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.

Pasal 1 Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, dan mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius pesawat udara. Pasal 1 Dalam hal pesawat udara asing mengalami kecelakaan di wilayah Republik Indonesia, wakil resmi dari negara acredited representative tempat pesawat udara didaftarkan, negara tempat badan usaha angkutan udara, negara tempat perancang pesawat udara, dan negara tempat pembuat pesawat udara dapat diikutsertakan dalam investigasi sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Pasal 1 Orang perseorangan wajib memberikan keterangan atau bantuan jasa keahlian untuk kelancaran investigasi yang dibutuhkan oleh komite nasional. Pasal 1 Pejabat yang berwenang di lokasi kecelakaan pesawat udara wajib melakukan tindakan pengamanan terhadap pesawat udara yang mengalami kecelakaan di luar daerah lingkungan kerja bandar udara untuk: a. Bagian Ketiga Penyelidikan Lanjutan Kecelakaan Pesawat Udara Pasal Untuk melaksanakan penyelidikan lanjutan, penegakan etika profesi, pelaksanaan mediasi dan penafsiran penerapan regulasi, komite nasional membentuk majelis profesi penerbangan.

Pasal Majelis profesi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal mempunyai tugas: a. Pasal Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal majelis profesi penerbangan memiliki fungsi: a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Pasal Majelis profesi penerbangan berwenang: a. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan udara bukan niaga, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara perintis diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin usaha angkutan udara niaga dan pengangkatan direksi perusahaan angkutan udara niaga diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin kegiatan angkutan udara bukan niaga diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang izin angkutan udara, persyaratan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan serta pemanfaatan jaringan dan rute penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur pemberian izin kegiatan usaha penunjang angkutan udara diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 5 diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara prosedur pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan udara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Jumlah ganti kerugian untuk setiap keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan tatanan kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan lokasi bandar udara dan tempat pelayanan penunjang di luar daerah lingkungan kerja diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai otoritas bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan tarif jasa kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus, serta perubahan status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian izin pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai bandar udara internasional diatur dengan Peraturan Menteri. Bandar udara dan pangkalan udara yang digunakan secara bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat kebisingan, pencemaran, serta pemantauan dan pengelolaan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan Tatanan Ruang Udara Nasional dan jalur penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan lalu lintas penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan telekomunikasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi aeronautika diatur dengan Peraturan Menteri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi pencarian dan pertolongan diatur dengan Peraturan Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemasangan, pengoperasian, pemeliharaan, pelaksanaan kalibrasi, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.



0コメント

  • 1000 / 1000